Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya. (Pidato Hari Pahlawan 10 November 1961)
Modernis.co, Malang – Kita bisa lihat dari perkataan Bung Karno kalau pahlawan adalah orang yang sangat berharga dalam memberikan perlawanan. Berusaha menentang ketidakadilan agar generasi selanjutnya tidak merasakan penderitan yang sama.
Mereka adalah orang yang berjasa bagi nusa, bangsa dan agama. Semua itu dapat dilihat pada catatan sejarah tentang perjuangan dan pengorbanan untuk menyuarakan sebuah keadilan. Mereka merupakan pejuang yang gagah berani. Mempunyai jasa yang besar serta keikhlasan tanpa mengharapkan imbalan.
Negeri besar dan kaya raya, yang batu dan kayu bisa jadi tanaman hanya Indonesia. Sehingga mendorong negara lain untuk mengambil alih guna menguasainya. Tapi sekarang kita tidak lagi merasakan semua itu berkat para pahlawan.
Bangsa yang pernah terjajah berabad-abad lamanya. Tak mungkin kiranya merasakan kemerdekaan tanpa adanya pejuang dan pahlawan. Para pahlawan tidak mau generasinya merasakan penindasan penjajah seperti yang mereka rasakan.
Tapi sangat jarang generasi muda mengetahui siapa saja pahlawan dan pejuang yang memerdekakan bangsa ini. Padahal mereka rela berkorban harta benda, pikiran serta nyawa.
Maka dari itu, untuk mengenang dan menghargai jasa mereka ditetapkan hari pahlawan sebagai bentuk penghormatan.
Berbicara tentang hari pahlawan tidak bisa lepas dari sejarah di mana arek rek Surabaya dengan gagah berani menurunkan dan menyobek bendera belanda yang berwarna biru. Sehingga hanya tersisa merah dan putih sebagai warna kebanggaan dan simbol dari bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sejarah Hari Pahlawan
Peringatan Hari Pahlawan ditetapkan karena adanya suatu peristiwa besar yang berlangsung di kota Surabaya. Saat ini kota tersebut kita kenal sebagai kota Pahlawan. Peristiwa tersebut ditandai dengan adanya konfrontasi di kota Surabaya yang melibatkan warga dan pasukan dari Netherlands-Indies Civil Administration (NICA). Dalam bahasa Indonesianya di sebut Pemerintahan Sipil Hindia Belanda.
Sumarsono yang merupakan mantan dari gerakan PRI (Pemuda Republik Indonesia) mengusulkan kepada Soekarno menjadikan 10 November sebagai Hari Pahlawan.
Peristiwa peperangan berlangsung sangat sengit dan mengerikan. Kota tersebut menjadi saksi bisu dan legitimasi peran prajurit dalam usaha memperjuangkan kemerdekaan Indonesia yang sudah dideklarasikan pada 17 Agustus 1945.
Perjuangan rakyat Surabaya juga sukarelawan yang membantu dalam menghadapi agresi militer saat itu menjadikan suatu nilai kepahlawana yakni untuk menjadikan 10 November sebagai hari untuk memperingati Hari Pahlawan.
Peristiwa ini ditandai dengan insiden yang terjadi di Hotel Yamato Surabaya yang pada saat itu hotel tersebut bernama Hotel Oranje. Setelah ditetapkannya kemerdekaan Indonesia dari kubu Jepang, pemerintah Indonesia saat itu mengeluarkan maklumat yang memberikan pengumuman bahwa bendera Sang Saka Merah Putih agar terus dikibarkan ke seluruh wilayah Indonesia, termasuk Surabaya.
Namun pada 18 September 1945 sekelompok masyarakat Belanda yang dipimpin oleh Mr. Ploegman mengibarkan bendera Belanda tanpa persetujuan dari Pemerintah Indonesia yang berada di daerah Surabaya. Hal ini tentu saja menyalakan amarah warga Surabaya yang menganggap apa yang dilakukan oleh Mr. Ploegman merupakan penghinaan terhadap kemerdekaan Indonesia yang sudah diproklamirkan.
Mr. Ploegman yang menolak untuk menurunkan bendera Belanda dari Hotel Yamato membuat geram banyak rakyat Surabaya. Setelah diadakannya perundingan yang mengakibatkan tewasnya Mr. Ploegman, kemudian terjadilah baku tembak antara masyarakat Indonesia dengan tentara Inggris yang berlangsung pada 27 Oktober 1945.
Peperangan yang melibatkan masyarakat Indonesia dengan tentara Inggris tersebut terus berlangsung hari demi hari, sampai ditandatanganinya gencatan senjata antara kedua belah pihak pada 29 Oktober 1945.
Keadaan sempat mereda. Namun beberapa bentrokan masih terjadi di beberapa tempat, puncaknya adalah pada saat pimpinan tentara Inggris Brigjen Mallaby tewas terbunuh. Brigjen Mallaby tewas karena serangan yang dilakukan terhadap mobil yang dikendarainya. Ledakan mobilnya tersebut mengakibatkan jenazah Mallaby sulit dikenali.
Puncaknya dari peperangan tersebut terjadi pada tanggal 10 November 1945, ketika Mayjen Robert Mansergh selaku pengganti Brigjen Mallaby mengeluarkan peringatan dengan ancaman (ultimatum) terhadap semua masyarakat Indonesia yang bersenjata, termasuk pimpinan perang dari Indonesia agar menyerah.
Ultimatum tersebut dianggap sebagai hinaan kepada Republik Indonesia. Dengan alasan bahwa Indonesia sudah merdeka dan tidak ada hak bagi pemerintahan Belanda untuk mengambil kembali kemerdekaan.
Kemudian, tentara Inggris melakukan serangan besar-besaran dengan melakukan pengeboman ke gedung-gedung. Awalnya tentara Inggris menduga bahwa serangan yang dilakukan untuk merebut kota Surabaya dapat dilakukan hanya dengan menyerang kota tersebut selama tiga hari.
Sutomo yang biasa dikenal dengan Bung Tomo memberikan pengaruh besar terhadap bangkitnya semagat pemuda-pemuda Surabaya. Sehingga serangan Inggris tersebut berlangsung sampai dengan tiga minggu sampai pada akhirnya seluruh kota Surabaya jatuh ke tangan Inggris.
Diperkirakan 7,000-16,000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan sekitar 200,000 lebih rakyat sipil mengungsi dari Surabaya. Pertempuran di Surabaya ini menginspirasi dan membangkitkan jiwa nasionalisme masyarakat Indonesia lainnya untuk memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia dan mengusir penjajah.
Banyaknya rakyat Indonesia terutama pemuda yang tewas pada peristiwa ini menjadikan tanggal 10 November sebagai peringatan hari pahlawan untuk selalu mengenang jasa-jasa para pahlawan.
Untuk menghargai para pahlawan yang gugur dan untuk menginspirasi semua masyarakat Indonesia agar tidak pernah ragu atau pun lupa terhadap pahlawannya. Maka diterbitkanlah Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 33 tahun 1964 tentang penetapan, penghargaan, dan pembinaan terhadap pahlawan Bab I Pasal 1.
Mungkin perlawanan kita sekarang tidak harus turut andil dalam berperang. Akan tetapi jiwa nasionalis yang dimiliki pejuang atau pendahulu kita jangan sampai pernah redup ataupun mati. Tugas kita sekarang menjaga warisan, membangkitkan semangat berjuang dan mengenali sejarah kita sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia
“Jangan pernah melupakan sejarah, karena sekali kita melupakannya kita bakal buta asal dan tujuan kita yang sebenarnya, yakni sebagai bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Oleh: Edi Pramono (Aktivis IMM Komisariat Tamaddun FAI UMM)